Saturday, November 19, 2011

Bissu dan Informasi Lengkapnya

BISSU DI TANAH BUGIS
Di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, hidup sekelompok komunitas Bissu. Di Desa Bontomatene juga terdapat sebuah rumah untuk menyimpan Arajang yang dipercayai sebagai benda pusaka pada masa kejayaan Kerajaan Bugis. Arajang yang disimpan adalah berupa alat tradisional untuk membajak padi. Komunitas Bissu hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya, meskipun masyarakat tidak sepenuh hati menerima keberadaan komunitas

Bissu tersebut. Atas dasar keyakinan dan kepercayaan masyarakat tentang upacara ritual yang harus dilakukan sebelum tanam padi, maka komunitas Bissu menjadi tetap harus ada. Di dalam upacara ritual yang disebut Mappalili yang dipimpin oleh seorang Puang Matowa yang berasal dari komunitas Bissu. Upacara Mappalili ini menjadi daya tarik pariwisata. Keunikan dan daya tariknya adalah adanya tarian Maggiri, yaitu atraksi yang menunjukkan kekebalan para Bissu terhadap senjata tajam, yaitu dengan menggunakan keris. Upacara ritual Mappalili ini dilakukan setahun sekali, biasanya jatuh sekitar bulan September.
Tradisi transvestities di tanah Bugis, yaitu lelaki yang berperan sebagai perempuan, sudah diungkap dalam naskah-naskah klasik Bugis sejak ratusan tahun yang lalu. Mereka dikenal sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam dengan julukan Bissu. Keberadaan mereka sebagai benang merah kesinambungan tradisi lisan Bugis kuno. Kata Bissu berasal dari kata mabessi dalam bahasa Bugis, yang berarti bersih atau suci, karena tidak memiliki payudara dan tidak haid. Sebagai implementasi tafsir suci tersebut, mereka tidak boleh berpacaran, menikah, dan menyingkirkan keinginan seksualitasnya.
Secara fisik Bissu adalah laki-laki, tetapi lemah lembut dalam bertutur dan memiliki kemampuan-kemampuan lebih, seperti meramal, mengobati, dan kebal terhadap senjata tajam. Sementara sebagian orang mengatakan bahwa Bissu sama dengan waria/banci. Di dalam bahasa Bugis disebut calabai atau kawe-kawe yang berarti waria (wanita-pria, wadam). Untuk menjadi Bissu para calabai tersebut harus melewati seleksi dan upacara khusus. Tidak semua waria bisa menjadi Bissu, tetapi semua waria punya peluang untuk menjadi Bissu, dengan mempunyai bakat dan anugerah atau panggilan hati dari dewata. Pada dasarnya semua Bissu adalah waria (calabai dalam bahasa Bugis). Seorang Bissu dalam pengertiannya sebagai orang ”suci” karena berkaitan dengan tugas yang diembannya sebagai penjaga dan pemelihara Arajang, yaitu benda-benda pusaka yang diwariskan para raja yang memerintah dalam suatu negeri atau kerajaan di Bugis dahulu. Seorang Bissu bukan calabai biasa, karena ada tirakat serta peraturan yang harus dijalani sebelum menjadi Bissu. Selain itu Bissu juga diharuskan berpakaian sopan dan anggun, tidak berpenampilan yang mengundang birahi orang seperti para banci/waria pada umumnya. Tugas Bissu pada intinya adalah sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada masa lalu. Di dalam kontekss kekinian mereka menerima konsultasi tentang hajatan, pertolongan, bahkan pengobatan. Di dalam setiap upacara ritual, tugas mereka memimpin dan menjaga Arajang, yaitu benda pusaka keramat peninggalan kerajaan).
Tepatnya di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, masyarakatnya masih melakukan upacara sebelum tanam padi, menumbuk padi, dan upacara syukur pada saat panen padi. Unik dan menarik karena tradisi masyarakat agraris di sini sebagai pelaku utama ritual harus dilakukan/ dipimpin oleh seorang Puang Matowa, yang dibantu oleh seorang wakil yang bergelar Puang Lolo, dan keduanya dilantik oleh raja atau penguasa. Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu, yang sebenarnya adalah:
1. Penjaga raja dan penjaga pusaka kerajaan pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan;
2. Orang yang mengurus sistem rumah tangga raja;
3. Orang yang menyerupai perempuan tetapi kebal dengan senjata tajam;
4. Orang yang dipercayai mampu mengobati orang sakit yang disebut sebagai tabib
5. Termasuk komunitas calabai (komunitas yang memiliki kepribadian ganda), tetapi bukan calabai biasa, yaitu sebagai kaum transvestities;
6. Berperan penting di dalam kerajaan yaitu sebagai perantara dunia atas dan dunia bawah yang disebut sebagai Bissu Dewata.
Komunitas Bissu di Propinsi Sulawesi Selatan masih ada terdapat di Kabupaten Pangkep, Bonne, Soppeng, dan Wajo. Pada mulanya Bissu berasal dari Kabupaten Luwu, namun kini sudah tidak ada lagi. Tugas Bissu pada intinya sebagai pemimpin spritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada waktu itu. Di dalam setiap upacara ritual, tugas Bissu adalah memimpin. Di dalam pelaksanaan upacara Bissu kerap kali melantunkan pujian-pujian, mantera, untuk mencapai tahap fana al fana atau intrance yang ditandai dengan menusuk keris ke tubuh mereka yang telah kebal.
Di dalam naskah La Galigo disebutkan bahwa Bissu telah ada sebelum masuknya Islam. Di naskah tersebut dikatakan bahwa Bissu yang pertama kali diturunkan dari langit. Bahasa dalam naskah La Galigo tidak sama dengan bahasa yang digunakan Bissu. Salah satu syarat untuk menjadi Bissu adalah mengetahui bahasa Bissu. Bahasa Bissu adalah lambang dari bahasa langit, sehingga disebut juga bahasa Torilangi, yang berarti bahasa orang dari langit. Norma-norma, konsep-konsep kehidupan, bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis dalam kitab La Galigo, mereka peroleh secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang telah wafat. Pengetahuan-pengetahuan warisan Bugis kuno itu mereka pertahankan dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan atau upacara orang Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Bissu memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata dan untuk berkomunikasi antara sesama Bissu. Bahasa tersebut disebut bahasa suci, bahasa orang langit yang disebut juga bahasA Torilangi atau bahasa Dewata. Para Bissu beranggapan bahwa bahasa tersebut diturunkan dari surga melalui Dewata.
Tarian Bissu yang masih dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu, sekarang dapat disaksikan di Desa Bontometene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Pada hakekatnya pada jaman kejayaan Kerajaan Bugis, tari-tarian istana banyak dilakukan oleh penari pria yang menyerupai wanita, atau yang juga disebut kaum Bissu. Hal ini dilakukan sebagai sebuah fenomena dari politik raja yang menjaga putrinya dari gangguan para pria yang tidak diinginkan masuk dalam istana.
Meski pada dasarnya semua Bissu adalah calabai, namun tidak semua calabai adalah Bissu, karena ada tirakat dan peraturan yang harus dijalani. Mereka juga diharuskan meninggalkan pribadi genit dan patut berpakaian sopan dan anggun. Seorang yang telah bergelar Bissu, tidak boleh berpacaran, tidak menikah, dan menyingkirkan keinginan seksual. Namun karena populasi Bissu semakin berkurang, diperoleh data bahwa beberapa di antara mereka kini berkeluarga untuk memperoleh keturunan. Di Bone ada Bissu yang disebut Bissu Mamatra, yaitu Bissu yang belum sempurna.
Pada masa pemerintahan Kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah kerajaan. Para Bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan yang berupa pedagang, kaum tani, bangsawan yang datang sendiri atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu mendapatkan tanah seluas satu petak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan untuk diolah oleh Puang Matowa bersama komunitasnya. Sawah yang merupakan tempat upacara Mappalili tersebut, hasilnya untuk biaya upacara-upacara dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun. Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah Kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga seluruh tata aturan tersebut harus ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik.
Di dalam sebuah upacara Bissu ada yang disebut dengan matemmu tang, yaitu persembahan beberapa bahan sesaji untuk para dewa yang dianggap telah memberikan rahmat kepada masyarakat setempat selama satu tahun sebelumnya. Jadi pada dasarnya upacara ini merupakan upacara tahunan yang hingga kini masih diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya. Ada sebuah bagian di dalam rangkaian upacara yang disebut dengan mappasabbi arajang, upacara ini dilakukan di dalam sebuah kamar arajang, di mana terdapat benda-benda pusaka. Selain itu dilakukan pembacaan mantra-mantra terhadap sesaji yang telah diletakkan di depan arajang tersebut oleh Puang Matowa sebagai pemimpin upacara. Di dalam upacara disajikan apa yang disebut makemmo sokko patan rupa (meremas nasi ketan yang diberi warna merah, kuning, putih, dan hitam, yang diletakkan dalam piring-piring kecil. Adapun artinya warna merah adalah api, warna kuning adalah angin, warna putih adalah air, dan warna hitam adalah tanah.
Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang konon lebih modern, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatannya. Bissu adalah seorang laki-laki yang berpenampilan dan berkepribadian seperti wanita. Tidak semua manusia tranvestitisme dapat menjadi Bissu, karena harus menjalankan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Adapun untuk menjadi seorang Bissu harus melakukan beberapa syarat yang telah ditentukan dengan aturan-aturan yang ada dalam komunitas Bissu, yang dipimpin oleh Puang Matowa. Awal mula seorang waria yang hendak menjadi Bissu harus mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil menjadi Bissu.
Motivasi tersebut antara lain ingin menjadi Bissu secara sungguh-sungguh, karena jika hanya main-main maka akan menerima resikonya. Pernah terjadi seorang waria yang bertekad menjadi Bissu, namun gagal. Kegagalan ini dikarenakan adanya aturan yang dilanggar, yaitu Bissu tidak boleh melakukan hubungan suami istri, sehingga Bissu dilarang menikah, tidak boleh berdandan terlalu mencolok atau menor, yang dapat mengundang birahi lorang lain, dan sebagainya. Bissu yang melanggar aturan akan mati, demikianlah mitos yang populer terdengar oleh masyarakat di Kecamatan Segeri. Namun untuk perkembangan di masa sekarang banyak Bissu yang menikah, agar supaya terjadi regenerasi
51
keturunan Bissu tetap ada. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu atau proses untuk menjadi Bissu (irreba) adalah:
1. Niat;
2. Puasa;
3. Mattinjak (mempunyai nazar);
4. Wuju;
5. Taat pada aturan-aturannya.
Niat adalah sebuah janji yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seorang waria untuk menjadi bagian dalam komunitas Bissu. Niat ini harus muncul dari lubuk hati yang paling dalam, karena akan menjadi berat menjalankan dan kegagalan yang terjadi untuk menjadi Bissu. Niat yang tulus dibarengi dengan menjalankan puasa, biasanya para waria yang hendak menjadi Bissu, harus melakukan puasa selama 40 hari 40 malam secara terus-menerus. Kemudian selesai berpuasa calon Bissu melakukan sebuah nazar sebelum benar-benar menjadi Bissu. Biasanya nazar dilakukan selama tiga hari berturut-turut, dengan melakukan apa yang disebut dengan Wuju. Calon Bissu menjalankan wuju, yaitu dengan dibungkus kain kafan putih dan dimandikan layaknya seperti mayat oleh para Bissu senior yang dipimpin oleh Puang Matowa. Setelah dimandikan dan dikafani, calon Bissu ditidurkan di rumah di lantai atas dengan beratapkan langit-langit, sambil bernazar seperti orang bertapa, tidak makan dan minum selama satu hari satu malam. Demikianlah upacara pelantikan Bissu menjadi bertingkat-tingkat, dan bagian terbesar dalam upacara pelantikan Bissu harus ada 40 orang Bissu senior (Bissu Pattappuloe), serta salah satunya adalah Bissu wanita.
Bissu wanita biasanya adalah seorang wanita yang telah menopause dan mendapat manase (wangsit/panggilan hati). Namun sekarang pelantikan dengan cara seperti ini tidak dilakukan lagi karena calon Bissu beresiko jatuh pingsan, gila, atau bahkan meninggal. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu, pada saat ini tidak lagi serumit dan selama pada waktu Bissu senior masih berjumlah 40 orang, karena Bissu yang tersisa saat ini hanya tinggal 6 orang.
Syarat terakhir dan harus selamanya dilakukan oleh calon Bissu adalah harus taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam komunitas Bissu, layaknya seorang laki-laki berpenampilan perempuan tetapi bukan waria biasa. Seperti dikatakan oleh Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis, bahwa:
“Para Bissu yang telah dilantik menganggap dirinya lebih terhormat dan lebih tinggi kedudukannya dari pada calabai pada umumnya yang belum dilantik. Bissu yang telah irreba-lah yang berhak menyandang predikat sebagai Bissu sesungguhnya, sedangkan calon Bissu yang belum dilantik hanya berhak menyandang sebagai Bissu mentah (Bissu mamata). Namun karena kaum Bissu makin berkurang, perbedaan antara Bissu dan calabai ini makin rancu di beberapa wilayah adat” (Latief Halilintar A:2004:47).
Di dalam kehidupan komunitas Bissu juga mengenal dengan hirarki organisasi atau struktur organisasi yang dibedakan menurut fungsi kerjanya. Adapun struktur organisasi dalam komunitas Bissu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Puang Matowa;
2. Puang Lolo;
3. Bissu Tantre;
4. Bissu Poncok.
Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu. Puang Matowa pada jaman kerajaan dipilih oleh rakyat dan dinobatkan oleh raja. Puang Matowa bertugas menjaga pusaka kerajaan dan melayani keluarga kerajaan, serta hidupnya ditanggung oleh kerajaan. Biasanya Puang Matowa bertempat tinggal di rumah pusaka kerajaan (Bola Arajang). Puang Matowa adalah sebagai pimpinan Bissu, maka apabila tidak bisa hadir dalam sebuah acara, yang akan menggantikan adalah Puang Lolo sebagai wakilnya.
Puang Lolo disebut juga sebagai wakil dari Puang Matowa atau juga bisa sebagai kandidat pengganti pimpinan Bissu tersebut. Oleh karena itu kelebihan yang dimiliki oleh Puang Matowa tidak jauh beda dengan yang dimiliki oleh Puang Lolo. Pelantikan Puang Lolo bersamaan dengan pelantikan Puang Matowa, karena Puang Lolo pun dipilih oleh rakyat dan dilantik oleh raja.
Sedangkan Bissu Tantre adalah Bissu yang dianggap mempunyai pengetahuan yang tinggi atau berderajat tinggi, dalam arti Bissu ini sangat cepat menangkap dan cepat tanggap dengan apa yang diajarkan oleh Puang Matowa. Ada juga yang disebut dengan Bissu Poncok adalah Bissu yang mempunyai derajat yang rendah atau berpengetahuan rendah karena tidak terlalu cepat mengerti dan tanggap dengan apa yang diajarkan oleh Puang Matowa. Bissu Tantre dan Bissu Poncok akan tampil dan menari dalam upacara ritual yang dipimpin oleh Puang Matowa. Saat ini jumlah Bissu tinggal 6 orang saja, di antaranya adalah Puang Matowa, Puang Lolo, Bissu Tantre (Zulaeka), dan Bissu Ponco (ada 4 orang). Menurut Andi Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis disebutkan bahwa Bissu yang terdapat di Segeri mempunyai perbedaan dengan Bissu yang berada di Bone. Perbedaan Bissu dari kedua daerah tersebut adalah sebagai berikut.
Para bissu dahulu mengenal tradisi tulisan pada lontar, namun tradisi ini sudah semakin ditinggalkan, dan berubah menjadi tradisi tutur. Di dalam upacara yang dipimpin oleh Bissu terdapat perpaduan dari berbagai aspek kesenian. Kesenian pada komunitas Bissu sebenarnya merupakan bagian dari aktivitas upacara/ritual sebelum menanam padi yang meliputi pembacaan mantra-mantra, sastra, nyanyian, musik, dan tarian. Semua bentuk seni tersebut sebagai media upacara dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa untuk mohon ijin dan berkahnya. Salah satu media upacara yang menjadi puncaknya adalah tarian Maggiri. Gerakan tarian Bissu bukan sekedar gerakan tari semata-mata, tetapi ada aktifitas kesenian lain, seperti pantun, iringan alat musik, dan adanya atraksi kekebalan senjata yang disebut Maggiri.
Maggiri adalah disebut juga upacara magrangeng-rangeng, yaitu Bissu telah berpakaian lengkap dan berdandan sedemikian rupa, berjalan sambil menari mengelilingi walasuji dipimpin oleh Puang Matowa. Kemudian Puang Matowa memperlihatkan kesaktiannya dengan menusukkan keris ke arah tenggorokannya itulah yang disebut maggiri, lalu diikuti oleh ke enam Bissu yang lain. Tarian Maggiri merupakan tarian yang unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung unsur mistis di dalamnya. Tari spiritual kaum Bissu yang sudah berusia ratusan tahun. Maggiri merupakan rangkaian dari prosesi upacara dalam tradisi Bugis kuno yang dilaksanakan para Bissu, dan sampai hari ini masih bertahan meski jumlah Bissu sudah tidak banyak lagi, yaitu hanya ada 6 orang Bissu yang berada di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep. Atraksi ini sambil menghentak-hentakan kakinya ke lantai diiringi dengan musik yang ritmis semakin lama semakin cepat, sehingga mampu membuat penonton berdebar melihatnya. Di dalam Maggiri inilah Bissu mempertunjukan kesaktiannya kebal akan benda tajam, yaitu keris
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/13/humaniora/1892839.htm)
Alat-alat yang digunakan dalam tarian Bissu meliputi dua buah keris (lambang pria dan wanita), lalosu (bambu anyaman berbentuk kepala ayam dan berbadan ular, lambang dunia atas dan dunia bawah), kostum yang menggambarkan perwujudan dewa-dewa, dan sebagainya. Biasanya kaum Bissu pandai menari dan menyanyi dengan membawakan mantra. Namun ada kaum Bissu dari kalangan bangsawan yang tidak bisa menari, yang disebut dengan Pargundang. Ketika mencari pengertian kesenian Bissu, memang sedikit bingung apakah tradisi itu dapat dikategorisasi sebagai suatu bentuk kesenian, atau karena tarian dengan nama ”mabissu” yang sudah dapat disaksikan sekarang adalah salah satu bagian dalam upacara-upacara ritual pada masa dahulu (kerajaan) yang dilakukan sebagai bentuk persembahan dan komunikasi kepada Sang Dewata, agar maksud dari hajatan tersebut diperkenankan dan berjalan lancar. Pada masa jayanya kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone, seni tari dipelajari hanya di lingkungan istana. Tari dalam bahasa Bugis (Basa Ugi) disebut Sere (mondar-mandir) atau jaga (berjaga tidak tidur semalaman) dan juga diberi nama Joge yang diberi awalan ma menjadi Majoge yang berarti berjoget dan Pajoge berarti penarinya. Dilihat dari fungsinya, tari-tarian suku Bugis mempunyai fungsi sebagai:
1. tari untuk upacara;
2. tari untuk bergembira;
3. tari untuk tontonan atau atraksi.
Sere yang berarti tari pada umumnya untuk menyebut tari-tarian yang bersifat sakral, sedangkan Joge pada umumnya dipergunakan untuk menyambut tari-tarian yang bersifat bergembira, tari-tarian bersifat tontonan, atau tari-tarian atraksi. Misalnya tarian Bissu yang mempunyai fungsi untuk upacara kelahiran, upacara perkawinan, dan upacara turun sawah, yaitu adanya tarian Maggiri. Di masa sekarang pertunjukan Maggiri yang telah dipentaskan dan diperkenalkan pada kesempatan atau pergelaran budaya, bahkan telah dipertontonkan secara luas di sejumlah negara Asia hingga Eropa, maka budaya dan tradisi Bugis kuno yang dimiliki komunitas Bissu dapat diartikan sebagai suatu bentuk kesenian tradisional dalam bentuk tarian.
Tarian unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka dengan unsur mistis di dalamnya. Dari keterangan-keterangan yang diperoleh dapat diketahui adanya beberapa tahapan yang dibagi atas enam sesi dalam tarian Bissu tersebut. Apabila disistematiskan maka tari Bissu yang dikenal dengan Maggiri dibagi dalam enam tahapan, yaitu:
1. Tette Sompe: Pembukaan (persembahan) dengan dimulai dengan bunyi gendang, suling tiup (pui-pui), dan iringan gong;
2. Balisumange (Bangkit): para Bissu mulai keluar beriring lalu keliling dengan formasi melingkar dan pimpinan Puang Matowa duduk di belakang Walasuji: berbentuk persegi empat dari rangkaian bambu yang berisi sejumlah benda-benda pusaka yang melambangkan “dunia”;
3. Tette Lenyye: irama musik diredupkan atau pelan, dan penari Bissu berdiri berkeliling di “walasuji”;
4. Tette Losa-losa: suara musik semakin dikecilkan, dan penari Bissu terus berkeliling disertai lantunan mantera oleh Puan Matowa;
5. Salakanjara (meronta), para Bissu yang menari melakukan atraksi penyiksaan tubuh dengan menancapkan keris di bagian leher atau bagian-bagian tubuh lainnya. Gerakan ini terus meningkat dan panas untuk mempertunjukkan kemampuannya bahwa mereka manusia kebal;
6. Kanjara (puncak intrance/ kesurupan): pada sesi ini merupakan puncak atraksi yang menegangkan, seolah para Bissu terutama pimpinan penari (Puang Matowa) meronta dan menunjukkan kehebatannya dengan menancapkan kerisnya sekeras-kerasnya secara bergantian dari tangan, perut dan lehernya. Ada yang berguling, menunduk yang terus berupaya menancapkan benda tajam tersebut ke dalam tubuhnya. Musik pengiring pun makin meningkat iramanya lalu akhirnya berhenti sebagai pertanda pergelaran tari klasik itu telah usai.
Musik yang dimainkan dalam kesenian tari Maggiri sebenarnya sederhana dan tidak memerlukan banyak orang untuk memainkannya. Adapun jenis alat musik yang diperlukan dalam kesenian ini meliputi:
1. Gong (1 orang);
2. Gendang (2 orang);
3. Pui-pui seruling (1 orang);
4. Lae-Lae/semacam alat musik pukul dari bambu yang disayat-sayat (2 orang), kancing/simbal perunggu (1 orang);
5. Kancing/simbal perunggu (1 orang);
6. Anak bacing (1 orang); dan
7. Mangkok dan piring yang diputar (1 orang).
Irama lagu ditentukan dari suara seruling, sedangkan gendang berfungsi mengatur cepat-lambat atau keras-lembutnya suara musik. Adapun di dalam menari tarian Bissu pada saat upacara ritual Mappalili, dimulai dengan bagian menyanyi yang dipimpin oleh Puang Matowa untuk membangunkan Arajang yang sudah selama satu tahun tersimpan atau tertidur di rumah pusaka, prosesi ini disebut dengan Matteddu Arajang (membangunkan Arajang). Pusaka kerajaan yang berupa bajak sawah, kemudian diarak untuk dimandikan di sungai oleh masyarakat yang dipimpin oleh Puang Matowa, yaitu dengan melakukan upacara pengambilan air dari sungai. Setelah itu Puang Matowa mulai melakukan untuk membajak sawah dengan bajak sawah (pusaka) yang sudah dimandikan. Selesai upacara tersebut pusaka dibungkus kembali dengan kain putih dan dikembalikan pada tempatnya.
Adapun properti-properti atau kelengkapan alat-alat yang dipergunakan, menurut Halilintar seperti yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Bissu dan Peralatannya, properti yang dipergunakan dalam menari Bissu mempergunakan:
1. Alosu, yaitu seperti tongkat kayu yang pendek, bentuknya seperti kepala burung, yang dianyam dengan indah dengan daun lontar (untuk saat ini dihias dengan kertas warna), dan diberi ekor-ekoran. Ada satu lagi yang dibungkus dengan kain warna merah, dan ekor-ekoran juga disebut dengan Arumpigi;
2. Teddung Buburu (payung Buburu), yaitu payung berwarna kuning atau oranye ini biasanya terbuat dari kain sutra dan bergagang dari kayu atau bambu. Pinggiran pada payung dihiasi dengan renda-renda yang indah. Kemudian ada juga yang menggunakan bendera sebagai pelengkap properti yang disebut dengan Bendera Arajang;
3. Besi Banrangga adalah seperti sebuah tombak yang diletakkan pada tempatnya berdampingan dengan payung;
4. Oiye adalah seperti irisan bambu kecil dan panjang yang dibalut dengan daun lontar (Latief Halilintar A:1981:27-30);
5. Lellu adalah seperti tenda berwarna kuning dan hanya bagian atasnya, samping kanan dan kiri tanpa kain, disangga dengan kayu membentuk persegi lima.
6. Paccoda adalah perlengkapan untuk menari, yaitu sebuah kotak kayu persegi delapan yang dibungkus kain berwarna kuning (Latief Halilintar A:2004:114).
Selain alat-alat yang dipergunakan, sesaji-sesaji juga disiapkan. Metemmu Tang adalah persembahan beberapa bahan sesaji untuk Tuhan yang dianggap telah memberikan kekuatan. Sesaji tersebut di antaranya adalah makanan dari beras ketan (yang diberi warna putih, kuning, merah, dan hitam), telur, kelapa muda, pisang, jagung putih yang disangrai, ayam panggang, opor ayam kering. Semuanya diatur sedemikian rupa untuk disajikan sebagai persembahan dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu ada juga dupa dengan minyak yang dinyalakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan dunia atas dengan dunia bawah yang dilakukan oleh Puang Matowa. Kemudian barulah mereka menari berputar dan akhirnya sampai kepada atraksi Maggiri dengan menggunakan kerisnya, yang dipimpin oleh Puang Matowa. Pergantian gerakan dari satu gerakan kepada gerakan yang lain ditandai oleh suara gendangnya. Atraksi kekebalan terhadap senjata tajam ini dilakukan secara bergantian, kemudian puncak intrance para Bissu secara bersamaan dan sambil menghentakkan kakinya dengan keras ke lantai dengan menusuk-nusuk tubuhnya memakai kerisnya. Pertunjukan ini berlangsung sampai para Bissu berhenti dari intrance masing-masing, kurang lebih setengah jam lamanya. Pada saat upacara ritual pada jaman dahulu para Bissu memakai kostum berwarna kuning dan merah, sedangkan Puang Matowa memakai warna putih. Namun perkembangan jaman sekarang selain sebagai upacara ritual, atraksi Bissu juga sebagai sebuah pertunjukan. Sehingga untuk kostum dan asesoris yang dipergunakan semakin menarik, indah, dan lengkap. Warna kostum yang dipakai pun makin mencolok, walaupun itu untuk pakaian yang dikenakan oleh Puang Matowa, sehingga tidak hanya warna putih saja. Adapun pakaian yang dipergunakan Bissu pada saat menari adalah sebagai berikut:
1. Baju Bella Dada atau sosok dan celana;
2. Lipa Awik atau sarung;
3. Passapu atau destar (ikat kepala) dan kembangnya;
4. Pakambang (selendang/selempang);
5. Kain Cinde (khas Bone);
6. Tali Benang (seperti sabuk pinggang panjang).
Pada jaman dahulu di setiap desa mempunyai komunitas Bissu, namun sekarang tidak lagi karena keberadaannya ditolak dengan alasan agama, khususnya agama Islam. Pada masa pemerintahan Kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah miliki kerajaan. Para Bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan yang terdiri dari kaum pedagang, petani, dan bangsawan yang sesekali atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu mereka diberi sepetak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan, yang diserahkan pengolahannya kepada Puang Matowa beserta para Bissu lainnya. Sawah pemberian dari raja tersebut digunakan untuk tempat upacara Mappalili. Hasil dari sawah ini digunakan untuk membiayai pelaksanaan upacara-upacara dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun.
Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah Kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malemppu, yang berarti kemuliaan dan kejujuran. Oleh karena itu seluruh tata aturannya ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik. Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang lebih modern, maka aturan-aturan lisan yang bersifat tradisional dalam masyarakat mulai kehilangan kekuatannya.
Keberadaan Bissu di desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep diperkirakan sudah ada sejak tahun 1825-an. Ketika itu ada seorang putra Kerajaan Bonne yang bernama Pajunglolo Peta Tolawe yang melarikan diri sampai ke Segeri, namun tidak diketahui alasan yang menjadi penyebabnya pelariannya. Secara misterius pusaka Kerajaan Bone, yang disebut Arajang mengikuti pelarian putra raja tersebut. Pusaka arajang ini berupa alat bajak, sehingga sejak saat itu mulai ada upacara Mapalili. Upacara ini untuk mengawali masa tanam padi dengan harapan kelak mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Upacara Mapalili merupakan rangkaian upacara yang panjang, yang meliputi:
1. Mateddu Arajang (mempersiapkan Arajang);
2. Mapalesso Arajang (menurunkan bajak sawah);
3. Majori Arajang (mempersiapkan Arajang);
4. Maggiri (menampilkan atraksi tarian dengan memperlihatkan kekebalan Bissu terhadap senjata tajam)
Dahulu upacara Mapalili berlangsung selama 9 hari, kemudian dikurangi menjadi 7 hari, dan pada saat ini hanya dilakukan selama 2 hari. Ketika datang ke Segeri, Pajunglolo Peta Tolawe membangun sebuah istana di Baruga. Istana itu kemudian dipindah ke Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri. Istana yang dibangun tersebut sering dipergunakan untuk pertemuan para Bissu.   Bissu di Kabupaten Pangkep masih aktif dalam melaksanakan kegiatan upacara ritual Mappalili yang diselenggarakan setahun sekali sebagai tanda dimulainya pengerjaan sawah untuk bertanam padi. Bissu juga dikatakan sebagai penasehat raja beserta seluruh keluarganya, sekaligus mengabdi dan menjaga Arajang yang merupakan benda pusaka keramat. Benda pusaka ini dipelihara dalam tempat khusus di ruang istana, yaitu di tempat persembahan.         
Fungsi Bissu dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa atau dewa, melalui upacara ritual. Bissu mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan, kematian, pelepasan nazar, persembahan tolak bala, dan lain-lain. Di Bone Bissu mencari nafkah melalui masyarakat yang menggunakan jasa mereka untuk memimpin upacara, misalnya sebagai perias pengantin atau dukun yang disebut Sanro (dukun/tabib). Keberadaan mereka memang sedang terancam punah. Jumlah mereka menurun drastis pada masa pemberontakan DI/TII. Ketika itu gerombolan Kahar Muzakar melalui gerakan DI/TII-nya menganggap mereka kaum penyembah berhala dan menentang ajaran agama Islam. Banyak Sanro (dukun) dan Bissu yang dibunuh atau dipaksa menjadi pria dengan menggunduli rambut mereka dan bekerja layaknya laki-laki. Kemudian tindakan pemusnahan para Bissu dan tradisinya terus berlanjut ketika Orde Baru berkuasa. Bissu dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka ditangkap dan diharuskan memilih antara mati dibunuh atau memeluk agama Islam serta menjadi lelaki normal. Bahkan beberapa pihak pada masa Orde Baru menyebarkan doktrin menyesatkan. terutama kepada anak-anak, bahwa jika mereka melihat Bissu, maka akan bernasib sial selama 40 hari 40 malam. Doktrin ini membuat mereka kerap dilempari batu, bahkan diusir dari desa. Pada saat ini Bissu yang tersisa adalah generasi terakhir yang mewarisi tradisi Bugis Klasik. Mereka tetap berusaha bertahan meski di tengah kondisi yang tak mendukung. Halilintar Latief, seorang peneliti Bissu, mengatakan bahwa: "Bahkan sekarang saya melihat para waria yang bukan Bissu, dibina oleh Dinas Pariwisata untuk sekadar sebuah pertunjukan wisata".
Harapan baru mulai muncul atas nasib para Bissu Segeri dengan adanya penggalangan dan penyatuan gagasan pelestarian oleh masyarakat dengan membentuk lembaga adat. Sebelumnya keberadaan lembaga adat ini tidak didukung oleh pemerintah kabupaten. Namun setelah terjadi pergantian pucuk pimpinan pemerintahan kabupaten pada tahun 2001, bupati yang baru memberikan dukungan terhadap lembaga adat tersebut. Pendampingan terhadap kehidupan para Bissu yang dilakukan atas kerjasama pemerintah kabupaten dan lembaga adat tersebut, telah membuahkan hasil dengan adanya rumah Arajang, walau masih status pinjaman. Rumah Arajang ini adalah bekas kantor BKKBN Kecamatan Segeri. Bantuan fisik lainnya berupa pembangunan pagar keliling seluas 2 ha, yang saat ini sedang berjalan. Hal ini atas prakarsa Andi Benyamin (Andi Benny) selaku anggota DPRD Kabupaten Pangkep. Rumah adat tempat tinggal Bissu yang berada di desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep telah lama telah rusak. Oleh karena itu kemudian dibangun rumah adat yang baru dan pusaka-pusaka yang ada dipindahkan ke rumah adat yang baru tersebut, kemudian rumah yang lama dirobohkan. Pembangunan ini rumah adat tersebut dimaksudkan untuk menghimpun para Bissu dan mewadahi kegiatan-kegiatan budaya yang dimilikinya, sehingga pada saatnya kawasan tersebut nantinya dapat berfungsi sebagai lokasi aktualisasi para Bissu dalam berkesenian. Proyek ini tampaknya lebih bernuansa pada pengembangan pariwisata dari pada suatu kesadaran budaya. Keberadaan komunitas Bissu dalam kehidupan bermasyarakat sudah jauh berbeda dengan semasa kaum Bissu hidup di masa kerajaan. Salah satu contohnya: mereka dahulu sebagai orang yang terhormat dan mempunyai jaminan dalam hidup karena diberikan sebidang tanah sawah sebagai sumber kehidupan. Namun kini sumber penghidupan tersebut menjadi hilang karena pemerintah memberlakukan undang-undang agraria. Untuk saat ini tidak ada yang memikirkan kebutuhan hidup sehari-hari para kaum Bissu. Akhirnya mereka terpaksa mencari nafkah di luar tugasnya sebagai Bissu. Kondisi inilah yang menjadikan kaum Bissu tidak sepenting perannya pada jaman dahulu. Saat ini mereka harus menentukan sikap dengan memberi patokan harga untuk biaya penyelenggaraan upacara. Sampai saat inipun belum ada donatur, baik dari masyarakat, pemerintah daerah, maupun pemerintah pusat untuk kaum Bissu tersebut. Akhirnya karena berbagai hal martabat Bissu lambat laun bergeser menurun, baik keberadaannya maupun fungsinya. Penyebabnya, mulai dari dominasi aturan dari agama tertentu yang tidak menghendaki keberadaan Bissu, hilangnya mitos-mitos yang mendukung keberadaan Bissu, dan hilangnya kerajaan-kerajaan tradisional, diganti dengan pemerintahan NKRI. Dahulu pernah ada upaya-upaya untuk menghilangkan keberadaan mereka, antara lain dari DI-TII. Pemberontakan DI/TII pada sekitar tahun 1950-an menggunakan simbol-simbol Islam untuk menghancurkan pusaka dan perlengkapan kerajaan yang dianggap musyrik. Ketika itu banyak Bissu yang dibunuh atau dipaksa untuk menjadi laki-laki sesuai kodratnya. Bissu yang tersisa bersembunyi, tidak berani mempraktikkan aktifitas ritualnya. Bahkan pada peristiwa Pemberontakan PKI pada tahun 1965, kaum Bissu masih dianggap komunis.   
Ada pula yang disebut organisasi pemuda Anshor yang pernah melakukan gerakan ”tobat”, banyak kaum Bissu yang ditangkap dan dipancung. Sisanya yang selamat takut untuk melakukan upacara lagi. Baru sekarang ini para Bissu yang selamat mengupayakan untuk menghidupkan kembali tradisi yang ada dalam komunitas Bissu. Salah satu upacara yang dilakukan kaum Bissu adalah upacara kering, yaitu upacara komunitas Bissu tanpa musik. Hal ini sebagai akibat dari gencarnya gerakan DI-TII dan pemuda Anshor yang membuat para Bissu takut untuk melakukan upacara secara terbuka. Namun setelah terbentuknya Dinas Kebudayaan di pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota, kaum Bissu berlindung di balik ”kebudayaan”. Dengan demikian tradisi komunitas Bissu tidak dimasukkan dalam agama, tetapi dimasukkan dalam kebudayaan, sehingga dapat secara terang-terangan untuk melakukan upacara tradisional komunitas Bissu tersebut. Kondisi saat ini cukup memprihatinkan. Komunitas Bissu menjadi semakin sedikit, regenerasi seakan terhenti, sehingga komunitas ini hampir punah. Transformasi pengetahuan kaum Bissu masih belum sepenuhnya dapat diketahui orang awam, karena masih terikat kepercayaan yang sangat kuat. Salah satu tradisi kesenian komunitas Bissu ada pada tarian Maggiri yang merupakan bagian dari rangkaian upacara sebelum tanam padi yang disebut Mappalili. Hal inilah yang menjadi fokus penelitian dan hanya di desa Bontomatene komunitas Bissu yang masih tersisa, yang tegolong sebagai Bissu Dewata dan masih terdapat rumah pusaka tempat menyimpan Arajang. Konon ceritanya Arajang tersebut datang secara gaib di Kecamatan Segeri tersebut, yang akhirnya pusaka tersebut tersimpan dengan aman dan dirawat oleh komunitas Bissu hingga saat ini, pusaka tersbut berupa “bajak sawah”.
Demikian pula dengan aktivitas komunitas Bissu yang masih melakukan ritual sebelum tanam padi dan masyarakat sekitar mendukung saat keramaian tiba. Kepercayaan inipun masih sangat berpengaruh karena masyarakat Segeri masih takut melakukan tanam padi sebelum adanya ritual tanam padi tersebut dilaksanakan karena takut akan gagal panen.
Sumber :  R.R. Nur Suwarningdyah,
 Laporan Penelitian Tinggalan Budaya: Bidang Kesenian tahun 2007.
Editor : Raniansyah
Comments
1 Comments

1 comments:

alifrizky said...

Sekolah saya ketika SD di Segeri (1956) persis berada dekat dengan rumah arajang. Kami anak-anak kecil sering bermain di sekitar rumah arajang. Tp gak berani naik, cuma mengintip dari bawah benda yang dikeramatkan berupa "sakkala". Sudah berlalu 50 tahun lebih namun merindukan.
www.nasehathukum.com