oleh : Raniansyah
Ada yang berbeda hari ini (10 november 2013), seperti ada sesuatu yang ganjil. Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah, yah..hari ini adalah hari pahlawan, dimana pada waktu itu semangat bangsa Indonesia bergelora untuk melawan penjajah, hidup atau mati yang pasti kemerdekaan adalah harga mati dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, waktu itu pemuda dan para pejuang memang tidak memiliki persenjataan yang kuat, tapi para pejuang saat itu memiliki semangat yang sangat disegani oleh penjajah. hasil dari perjuangan itulah yang kita nikmati hari ini, kaum manusia yang mungkin bisa dibilang tidak bersyukur dan/atau mungkin bisa dibilng terlalu manja dan cengeng, tahukah kita berapa jiwa melayang demi memperjuangkan kemerdekaan ini, lalu inikah balasan yang kita perlihatkan hari ini? Inikah penghargaan yang kita berikan? Inikah wajah pemuda negeri saat ini, yang cengeng, manja dan tidak tahu arti perjuangan? Inikah wajah negeri yang dicita-citakan dulu oleh para pejuang yang rela mati demi bangsa ini? Inikahh? Inikah? Aaaah….INIKAH !!!?
***
10 November 2012, aku berdiri di tribun lapangan Citra Mas Kabupaten Pangkep, di antara jajaran pejabat daerah, veteran dan tamu undangan, aku berdiri tegap membacakan pesan Pahlawan Sultan Hasanuddin, pesan Sultan Hasanuddin yang masih aku ingat waktu itu adalah ‘Aku dan raja Bone bukanlah musuh,”. Ada hal menarik yang kudapatkan kala mencari referensi tentang pesan-pesan ini, sebagian literatur menuliskan jika sultan Hasanuddin mengatakan “Aku dan raja Bone bukanlah musuh,” namun literatur lain menuliskan jika Sultan Hasanuddin mengatakan “Aku dan raja Bone adalah musuh,”. Yang lucu dari hal ini karena yang menuliskan “Aku dan raja Bone adalah musuh,” adalah buku dari Belanda yang katanya dikutip dari Lontara yang dibawa lari ke Belanda waktu itu. Belanda adalah salah satu negara yang pernah menjajah kita dengan sistem adu dombanya, lalu akankah aku akan percaya dengan literatur dari Belanda itu?, yang jelas akan memungkinkan atau mengundang permusuhan antara orang Bugis dan Makassar, mungkinkah literatur itu ada untuk mengadu domba orang Bugis dan Makassar?. Diceritakan dalam literatur Belanda tersebut (mohon maaf aku lupa nama bukunya) katanya Arung Palaka dari kerajaan Bone yang berlatar Bugis merupakan pengkhianat dan musuh Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa yang berlatar Makassar, lalu sesaat sebelum meninggal katanya Sultan Hasanuddin mengatakan “aku dan raja Bone adalah Musuh,”. Ada juga literatur yang mengatakan bahwa Sultan Hasanuddin dan Arung Palaka adalah sahabat yang selalu berusaha diadu domba oleh penjajah, karena jika mereka bersatu mereka akan menghasilkan kekuatan yang luar biasa dan sesaat sebelum meninggal, Sultan Hasanuddin mengatakan “aku dan raja Bone bukanlah Musuh,”. Dari kedua tulisan itu, literatur manakah yang harus atau pantas kita percaya?. Yang jelasnya waktu itu aku memilih untuk percaya pada literatur non Belanda, keyakinan hati lebih mengarah kesana dan yang menambah keyakinan itu, ketika aku berbalik ke arah jajaran veteran dan mereka mengangguk-angguk mendengarkan pesan yang kubacakan, yah…setidaknya jiwa pejuang dan pengalaman sejarah mereka mampu memberi nilai tambah padaku melalui anggukan itu. Pertanyaan yang lebih mendalam lagi, akankah pahlawan seperti Sultan Hasanuddin di penghujung hidupnya mengatakan “Aku dan raja Bone adalah musuh,”, sesuatu yang memungkinkan permusuhan?. Coba tanya diri kita, apakah ada…manusia yang di nafas terakhirnya mengucapkan pesan yang mengarahkan ke sesuatu yang negatif seperti permusuhan? Apalagi sosok seorang pahlawan. Rasanya sulit diterima secara rasional. Mungkinkah kita memang selalu berupaya diadu domba? Hmm…entahlah!
***
Hari ini (10 November 2013), di tanggal dan bulan yang sama tahun lalu…aku membacakan pesan Pahlawan Sultan Hasanuddin dalam upacara peringatan hari pahlawan. Sangat jauh berbeda dengan hari ini, hari ini aku juga berdiri namun tidak sebagai pembaca pesan pahlawan namun sebagai pengawas ruangan untuk kegiatan try out yang diadakan oleh salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin. Pelajaran berharga hari ini adalah mungkin memang generasi sudah tidak lagi mengingat dan menghargai perjuangan para pahlawan kita dulu, apa buktinya? Di ruangan yang aku awasi, ada beberapa peserta yang selalu berupaya curang, buka handphone dan atau berbalik ke arah kiri-kanannya mencoba mencari contekan, beberapa kali aku menegur, namun beberapa kali juga perbuatan itu diulangi. Hmm…benar-benar memiriskan, bisa-bisanya hari bersejarah dan penuh perjuangan ini dihiasi dengan ketidakjujuran, dicemari oleh generasi tidak tahu malu yang hidup hanya seperti benalu. Dimana lagi jiwa-jiwa nasionalis yang selalu membuat merinding itu? Rasanya cukup pesimis untuk mencari dimana ‘nasionalisme’ itu kini berada. Mungkinkah tak ada lagi pejuang/ nasionalis yang akan melanjutkan perjuangan cita-cita bangsa ini?. Mungkinkah pahlawan memang tak lagi disini? Walau hanya secuil…Mungkinkah?
Hari ini, aku cukup lega, ada yang cukup membangunkan semangatku untuk tetap optimis, motivasi itulah yang menggerakkan jemariku untuk mengetik tulisan ini. Dia adalah Kak Said, salah satu sosok yang cukup kutakuti pada masa-masa masih baru bergabung sebagai keluarga mahasiswa Fakultas Hukum Unhas, namun perlahan ketakutan itu berubah menjadi kekaguman dan harapan bisa seperti beliau, Sederhana tapi punya pemikiran yang luar biasa yang tidak semua mahasiswa atau pemuda hari ini memiliki itu. Magang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) hari ini, memberiku banyak pelajaran berharga, yah!…setidaknya aku dan kawan-kawan yang ikut hari ini secara tidak langsung telah memperingati hari Pahlawan dengan hal yang positif. Jadi anggota BEM atau tidak itu urusan kedua, pastinya ikut kegiatan diskusi hari ini memberikan manfaat yang luar biasa, bisa dibilang sangat rugi lah yang tidak ikut, materi dimensi kemahasiswaan yang dibumbui oleh kak Said dengan sejarah pergerakan dan perjuangan pemuda, serta pandangan terhadap generasi atau pemuda hari ini, memancing untuk mengangguk dan berkata “iya di’,”. Membangkitkan gelora untuk tetap optimis memperjuangkan cita-cita yang diingikan oleh kaum terdahulu yang rela berkorban jiwa raga demi bangsa ini. Walau hari ini, wajarlah kita pesimis dengan keadaan, tapi setidaknya kita masih pantas optimis dengan masih adanya orang-orang seperti Kak Said, dan pasti masih banyak orang seperti beliau diluar sana, InsyaAllah saya pun akan seperti beliau dan semoga pembaca sekalian pun masih memiliki ‘nasionalisme’ itu di dalam relung hati. Buatlah hari ini menjadi indah, buatlah pejuang terdahulu kita bangga melihat perjuangan kita hari ini dan buatlah bangsa ini bangga memiliki kita.
SELAMAT HARI PAHLAWAN
TERIMA KASIH UNTUK PEJUANG YANG MASIH ADA HARI INI.