Aturan
Tanpa Makna
oleh : Raniansyah
oleh : Raniansyah
Tak
habis pikir, kejujuran seperti telur diujung tanduk. Sangat rentan untuk pecah
dan jatuh dalam jurang dusta, yah! tentunya dilakukan oleh pendusta. Dusta setidaknya
telah menjadi penopang eksistensi republik ini. Bukankah koruptor adalah
pendusta? bukankah pelanggar adalah pandusta? Yah!, bahkan yang lebih bodoh
lagi, ada orang yang mendustai dirinya sendiri. Hmm!, bukankah negara ini
sekarang telah dipenuhi oleh mereka (para pendusta), akibatnya aturan yang
diciptakan untuk dipatuhi, kini diciptakan untuk dilanggar. Negeri kita kini
telah dihuni oleh jutaan orang yang pasti telah berdusta dan inti dari sebuah
dusta itu adalah pelanggaran aturan.
Akhir-akhir
ini penikmat berita tentu tahu berita korupsi Simulator SIM di Korps Lalu-lintas
Mabes Polri yang menyeret dua petinggi Polri. Berikutnya siapa yang tak tahu
berita “Dahlan Iskan (Kementrian BUMN) Vs DPR” yang juga mnyangkut masalah
korupsi, dan yang terbaru adalah rekomendasi Pemecatan Hakim Agung Yamani oleh
Komisi Yudisial (KY) karena kelalaian menuliskan vonis untuk gembong
narkoba menunjukkan adanya permainan mafia peradilan. Berita-berita
tersebut menjadi berita paling popular terdengar di telinga kita dan singgah di
pelupuk mata kita, karena hampir semua pers
memberitakan hal tersebut. Bukankah hal diatas menjadi bukti bobroknya aturan
kita? Bukankah hal diatas cukup menjadi bukti betapa krisisnya kita dalam hal
kepatuhan. Pertanyaan besar untuk permasalahan tersebut adalah jika
lembaga/orang yang seharusnya berada
pada barisan paling depan dalam menegakkan aturan dan membela kebenaran
telah melanggar, bagaimana dengan yang bukan lembaga/orang yang tugasnya bukan
penegak hukum.
***
Rabu, 7 November 2012, Saya dan beberapa orang
teman ikut untuk menyaksikan kompetisi Sains yang diadakan tingkat kabupaten
oleh salah satu lembaga bimbingan belajar (mohon maaf, nama lembaga
dirahasiakan) yang di sponsori oleh salah satu perusahaan. Kebetulan dalam
kompetisi ini, 13 dari 16 semi finalis berasal dari sekolah saya, SMAN 2
Pangkajene(SMADA). Hmm.. tahun ini kami mengikuti kompetisi sains ini dengan
perasaan yang tak tenang, betapa tidak? Sekolah kami telah meraih piala
bergilir selama 2 kali berturut-turut, dan apabila tahun ini kembali berhasil
maka piala tersebut akan menjadi piala tetap. Perasaan ini semakin tak tenang
kala ada salah satu dari panitia lomba tak sengaja melontarkan kalimat “kalau
saya ada, dipastikan tahun ini SMADA tak bakal dapat juara,” kepada salah
seorang Guru SMAN 2 Pangkajene. Akhirnya hari itu dewan guru memutuskan untuk
meminta transparansi dari pihak panitia mengenai hasil pemeriksaan dan meminta
agar dewan guru dapat melihat proses pemeriksaan. Namun anehnya, entah mengapa
panitia sepertinya menolak dengan alasan yang sungguh tak masuk akal. Kepala
sekolah saya sempat berpesan jika memang tak bisa transparan lebih kami kembali
ke sekolah dan tak ikut lomba.
Miris, sangat memiriskan hati, akhirnya
kami meninggalkan auditorium perusahaan yang menjadi sponsor, untuk kembali ke
sekolah. Namun ternyata pihak guru menemui pihak perusahaan sponsor kegiatan
ini dan diadakanlah perbincangan dan kesepakatan antara pihak lembaga bimbingan
belajar dengan pihak sekolahku. Senyum yang sebelumnya begitu indah terpancar diantara
wajah teman-teman para peserta kini berubah jadi suasana tegang. Satu kalimat
yang tak mungkin saya lupakan. Entah apa yang dipikirkannya? entah dia waras
atau sudah gila? Salah seorang panitia lomba datang memotong penjelasan guru
saya dan berkata “Di Indonesia sekarang pak, sudah tak ada kejujuran!, di
sekolah juga begitu!,” katanya dengan wajah emosi sambil menunjuk-nunjuk
guruku. Hah?, jika di Indonesia sekarang memang tak ada kejujuran, apakah pada
lomba ini juga demikian? Haha!, bukankah itu adalah sebuah pengakuan otomatis
bahwa memang ada kecurangan dalam kompetisi ini.
***
Hari itu akhirnya niat kami untuk
pulang dibatalkan karena telah ada kesepakatan yang setidaknya adil untuk kedua
belah pihak. Tapi ada satu hal lagi yang mencurigakan bagi saya. Ada
persyaratan yang terletak paling bawah yang ditampilkan melalui slide show
yang jelas mengundang tanda tanya besar. “Keputusan panitia tak dapat
diganggu gugat,“. pertanyaannya, mengapa hanya peraturan ini yang dicetak
tebal dan bergaris bawah? sementara bukankah peraturan yang lain seharusnya
sama?. Ini seolah terjadi penekanan yang menurut saya kelewat batas. Kalau
panitia selalu ingin berlindung pada aturan ini? Maka dimana lagi pelajar
Indonesia mampu menemukan kompetisi yang sehat? Dengan aturan ini, berarti
panitia bisa menentukan keputusan semaunya walau tanpa kewajaran karena tak
dapat diganggu gugat. Bukankah seharusnya keputusan yang mutlak tak dapat
diganggu-gugat hanya keputusan Tuhan? Kompetisi yang seharusnya mendidik justru
membuat pelajar kita semakin terpuruk. Aturan aturan seperti ini patut
dikategorikan aturan tanpa makna.
Cerita diatas adalah sesuatu yang
wajar, bukankah beberapa aturan di Indonesia katanya diciptakan untuk
dilanggar? Katanya, apa gunanya aturan kalau tak dilanggar?. Zebra cross, kini hanya hiasan hitam-putih di
jalanan, toh banyak orang menyeberang sembarangan. Hal ini mengingatkan saya
dengan sebuah esai Asdar Muis RMS dalam bukunya “Tuhan Masih Pidato”, ada
sebuah esai di dalam buku tersebut yang isinya tentang orang Asing yang
kesulitan menyeberang dan mondar-mandir di jalan yang sama karena tak menemukan
Zebra Cross untuk menyeberanng, ia tak tahu kalau di Indonesia, orang boleh
menyeberang sembarangan walau tanpa Zebra Cross. Tanda Larangan Parkir…toh kita
sering melihat kendaraan parkir dibawah tanda-tanda larangan tersebut. Yah!, itu
aturan yang sungguh tak bermakna, katanya…, lampu kendaraan juga harus
dinyalakan di siang hari, tapi ketika saya nyalakan lampu motor siang hari,
secara bergantian orang di jalan menegur “eh…lampu motormu menyala,”. Saya
semakin bingung, sebenarnya siapa yang salah sih? Saya atau si penegur yang tak
mengerti aturan? toh banyak juga aparat kepolisian yang tak menyalakan lampu
motornya di siang hari. Mengenai aturan penggunaan Surat Izin Mengendara (SIM),
siapa yang bisa menjamin bahwa semua aparat kepolisian mengantongi SIM saat
berkendara? Haha, tak ada!, sepertinya aturan kita memang ada untuk dilanggar.
Hal diatas masih secuil dari
kebohongan-kebohongan dan dusta aturan kita. Aturan kita seperti fatamorgana,
terlihat dari jauh namun ketika mendekat, sama sekali tak ada. Memiriskan hati
bukan?. Hmm!, yang lebih memprihatinkan
adalah saat prinsip kesuksesan digunakan untuk melanggar, misalnya “kalau bukan
saya, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” prinsip yang seharusnya
digunakan untuk motivasi sukses justru digunakan untuk melanggar. Katanya,
”kalau bukan saya yang melanggar, siapa lagi? Dan kalau tak sekarang saya
melanggar yah kapan lagi,?”. Apa jadinya negeri ini?
Di pertengahan bulan November 2012, saya
dan beberapa orang teman sempat memperdebatkan beberapa aturan sekolah yang
dianggap memiliki pro-kontra. Saya
kebetulan waktu itu membela peraturan agar tak dilanggar, tapi satu kalimat
yang masih saya ingat diutarakan seorang teman (maaf!, nama tak disebutkan)
yaitu “aturan itu memiliki dua fungsi,
yang pertama untuk dipatuhi dan yang kedua untuk dilanggar,” itu katanya, saya
hanya terdiam namun saya tak mengalah
karena menurut saya aturan itu ada agar tak ada yang melanggar dan aturan itu
ada berdasar pada latar belakang masalah yang bertentangan dengan ideologi kita
yaitu pancasila yang terbagi lagi dalam beberapa aturan pokok dan dasar. Tapi
itu hanya menurut pendapat saya, lalu benarkah yang dikatakan oleh rekan saya
itu bahwa aturan itu memang ada untuk dilanggar? Tapi kok malah saya merasa
kalau justru kebanyakan yang melanggar daripada yang mematuhi?,
***
Ada
lagi yang mengundang perhatian dan rasa penasaran saya untuk bertanya, mengapa
sampai sekarang perokok semakin banyak bahkan menjamur di kalangan pelajar? padahal
dalam kemasan rokok pasti ada tulisan “Merokok dapat menyebabkan kanker,
serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin”. Hmm, jika
diperhatikan secara mendalam, tulisan tersebut kini hanya kiasan dan hiasan
belaka, toh tak ada yang peduli. Bahkan mungkin jika seandainya kemasan rokok
hanya dipenuhi tulisan itu maka perokok masih akan tetap merokok. Itu karena
tulisan itu ada tanpa perhatian dari penikmatnya.
Selasa 10 Juli 2012, saat berada di Bandara Soekarno-Hatta
Jakarta, sembari menunggu keberangkatan
pesawat ke Batam, saya duduk di koridor-koridor dekat ruang tunggu sambil melihat
orang yang lalu-lalang, seketika perhatian saya tertuju pada seorang ibu yang
merokok di depan saya, anaknya yang
berumur sekitar 5 tahun terus merengek di depannya tapi ia tetap merokok,
sungguh ia contoh ibu yang buruk, ia telah menjadikan seoarang anak berumur 5
tahun menjadi perokok pasif dan itu adalah anaknya sendiri, saya hanya bisa
menggeleng sambil menutup hidung dan mulut saya. Yang lebih parah
lagi, pada tiang dekat tempat ia duduk, terdapat tulisan larangan merokok di
area itu, apalagi telah disediakan ruangan khusus untuk merokok, tapi masih
juga melanggar. Memang sih! waktu itu tak ada petugas bandara yang menegur
namun bukankah aturan itu diciptakan untuk dipatuhi walau tanpa pengawasan? ataukah
memang aturan kita itu secara nyata dan pasti ada untuk dilanggar? Entahlah! Tapi
seharusnya semua orang peduli dengan krisis kepatuhan ini. Siapa sebenarnya
yang bodoh dan gila? banyak aturan yang
sebenarnya menguntungkan dan hendak menyelamatkan kita, namun entah mengapa
banyak yang melanggar. Itu kenyataan pahit negeri ini yang harus kita terima. Bahkan
saya sempat berpikir jika kita ingian menulisakan semua masalah pelanggaran
aturan manusia negeri ini dalam sebuah buku, maka beribu-ribu halaman tak bakal
cukup untuk menuliskan semua masalahnya sejak negeri ini lahir. Sebagai mahluk
yang menghargai sejarah sudah sepatutnya kita menengok ke belakang dan
bercermin pada sejarah, apa yang perlu kita saksikan? Mengapa orde lama berubah
menjadi orde baru? Lalu mengapa akhirnya orde baru mengalami keruntuhan lalu
lahirlah reformasi? Lalu masihkah kita ingin melihat perubahan orde hanya
karena masalah dan ulah yang kita lakukan, tidakkah pelanggar sama dengan
binatang yang sungguh tak mengerti menempatkan aturan?.
***
Cukup
hal ini menjadi pelajaran buat kita sekalian, saya sempat berpikir, kalaupun kita salah satu tersangka pelanggar
maka semoga kita cepat sadar untuk setidaknya mengurangi sedikit demi sedikit
dari krisis kepatuhan itu, jangan sampai aturan-aturan yang ada di negeri ini
hanya hiasan dinding, kiasan, fana, dan tak pernah bermakna!, mari kita kembali
merenung, jika setiap orang membuang sampah sekecil kemasan permen, itupun akan
menutup bumi ini dengan sampah, lalu analogikan hal tersebut dalam pelanggaran
aturan, jika setiap orang melanggar aturan sekecil apapun itu maka berapa besar
makna kepatuhan yang lenyap ditelan dusta. Bahkan masih lebih deras dari derasnya
Amazon dan bahkan lebih tinggi dari tingginya puncak Himalaya. Hmm…kita adalah
ttik perubahan dan setiap manusia harus berusaha menjadi titik. Bukankah
kumpulan titik-titik itu akan membentuk garis dan itu berarti dengan menjadi
salah satu titik patuh aturan maka secara otomatis kita telah membantu lahir
dan berkembangnya era kepatuhan. Yah!..tentunya era para orang jujur dan masa
punahnya pendusta. Kita harus mematuhi aturan walau tanpa pengawasan. Jika
orang lain tak mampu kita pengaruhi untuk patuh aturan maka sepantasnya diri
sendiri menjadi awal untuk berubah. Kita hanya punya dua pilihan, melihat
Indonesia musnah karena pendusta yang tak mengerti aturan atau melihat
Indonesia maju karena kita menjadi salah satu bagian dari orang jujur yang
patuh aturan. Semoga para pelanggar sadar.hmm*
Pangkep, 17 November 2012