Seharusnya Berterima Kasih (BUKAN
kecewa)
Oleh : Raniansyah
s
|
aat
ini, dini hari(10 Februari 2013) saya terbangun sekitar pukul 03.00 WITA tidak
tidur lagi sampai pagi, tidur hanya 2 jam..:D ingin menulis pengalaman.***
Seharusnya saya belajar dan bercermin bahwa setiap kata-kata harus dilandasi
dengan landasan faktual yang mendalam, tidak sekedar landasan teoritis yang
mungkin saja diragukan. Saya salah!,
selama ini saya mungkin terlalu terpacu pada teori tanpa peduli dengan praktik,
padahal untuk menjadi seorang penulis yang bisa disenangi pembaca, kemampuan
tidak hanya sekedar kemampuan mengotak-atik kata tetapi juga harus mampu
membuat sebuah cerita mengalir karena
diangkat dari kisah nyata dari si penulis. Dini hari ini, saya berfikir bahwa tidak ada
cerita yang benar-benar fiktif, karena pasti selalu saja ada sekelumit dari
cerita tersebut yang sebenarnya telah terjadi kepada diri sendiri dan orang lain.
Pastinya itu merupakan skenario Tuhan dan tentunya itu menarik. Untuk menulis
tentang cinta tentu penulis yang pernah jatuh cinta akan lebih mengerti
dibanding penulis yang belum pernah merasakan cinta, begitupun dengan benci,
sakit hati, kecewa, dan lain sebagainya. Jelas yang pernah mengalami/merasakan
lebih pantas dipercaya. Tapi saya tidak!, mungkin, jika saya seorang penulis
maka saya akan memutuskan melepaskan gelar saya sebagai penulis daripada saya
harus merasakan sakit hati. Mungkin penulis lain akan mencobanya karena
tulisan-tulisan semacam perasaan sakit hati itu tidak pernah lapuk dan selalu
disenangi sejumlah kalangan, ini tentunya menaikkan pamor mereka di depan
publik. Tapi mungkin saya memang bukan bakal penulis karena sakit hati itu
rasanya benar-benar sakit, ketika bagian
itu yang sakit. Sepertinya semua indera, sulit lagi bersahabat dengan tubuhnya
dan jujur saya tidak ingin merasakan itu.
Di sisa malam (9 Februari 2013) saya
kecewa, saya sakit hati, saya malu dan saya tertawa. Katanya seorang penulis
itu harus kuat, dan tahan banting terhadap segala hal. Teringat peristiwa
pembredelan pers (Detik, Tempo dan Editor) pada masa orde baru, tapi toh!
mereka selalu bangkit dan memperjuangkan tulisan mereka. Saya selalu mengatakan
“Jangan menangis, karena itu tanda lemah. Dan itu bukti bahwa kita benar-benar
kalah”, teori itu setelah malam ini, mungkin takkan pernah lagi saya katakan.
Saya merasakan sendiri bahwa keadaanlah yang memaksa seseorang menangis
sehingga saya tidak akan pernah lagi melarang seseorang menangis tapi mungkin
saya akan berusaha menghapus air matanya, mungkin begini lebih baik..
“menangislah sepuasmu, hingga kau merasakan rasa sakitmu terobati, sampai kau
merasa sakit itu terangkat dari palung hatimu” .
Alhamdulillah
Tuhan masih menguatkan saya, saya masih mampu menahan untuk tidak menangis hingga jemari ini sanggup bergulat diatas keyboard laptop, merangkai sejumlah
kata-kata yang telah kupikirkan, lebih tepatnya menghantuiku di sepanjang
perjalanan kembali ke rumah dari lokasi Islamic camp di desa Ale’ Sipitto yang
kuperkirakan berjarak tidak kurang dari 15 km. Tiga puluh menit lebih dalam
perjalanan itu, hanya kata-kata penyesalan yang tampak dihadapanku. Malam itu,
saya ke lokasi Islamic Camp karena dua hal, karena NASIONALISME dan karena CINTA,
tapi hampir saja keduanya tidak saya temukan. Sesampaianya saya disana, seperti tidak ada
hal yang menarik. Mungkin itu tanda agar saya segera pulang, tim qasidah
sekolahku, undian tampilnya belum kena juga. waktu bergulir begitu cepat
menghampiri tengah malam, kedua sahabat
yang bersamaku ke lokasi ingin pulang karena waktu memang telah larut malam.
Saya masih menunggu untuk mencapai tujuan kedua, untuk tujuan pertama
setidaknya saya telah datang mendukung mereka sebagai wujud nasionalisme, lebih
rincinya sih! SEKOLAHISME…hehe. Beranjak mencoba tujuan kedua. Yah!, saya
benar-benar ingin menyaksikan dia (3010) tampil, dia yang bla,…bla…yang banyak
kuceritakan pada keyboard laptopku
tanpa sepengetahuannya. Tapi nomor
undian tim sekolahnya, termasuk dia belum kena juga, saya mencoba berkomunikasi
dan mengajaknya ngobrol tapi saat itulah saya kecewa karena sungguh responnya
menandakan sesuatu yang sama sekali tidak dibutuhkan menandakan bahwa saya
malam itu hanya semak tanpa arti. Sebenarnya
saya memang tidak pernah mau dan malu mencobanya karena terus terang,
saya tidak pernah ngobrol dengan cewek dalam lingkup spesial. Tapi ada kedua
sahabat yang memotivasi untuk mencoba, dan percobaan pertama gagal
segagal-gagalnya. Saya tidak tahu akan mencobanya lagi atau tidak? mengulang
sakit hati yang sudah saya rasakan, saya mencoba tersenyum dan tertawa di depan
teman-teman sekolahku, walau sakit itu telah menjerat internalku. Hmm…saya hanya ingin berterima kasih
kepadanya, dia telah memberi saya praktik, sehingga sekarang saya lebih paham
dengan sakit hati dan sekarang saya bebas menulis tentang sakit hati,
setidaknya saya sudah memiliki satu pengalaman dan bisa dipercaya, dibanding
mereka yang selalu saja menulis….menulis…menulis tapi tidak pernah merasakan.
Terima kasih yah!, walaupun sakit, ini pengalaman yang sangat berharga
sekaligus sebagai bukti ekstrimnya dunia kasih-sayang, lebih ekstrim daripada
perjalanan ke lokasi Islamic Camp malam itu.
Saya memang cukup kaget ketika sampai di tenda
perkemahan sekolahku karena teman-teman di sana langsung menceritakan insiden
pada saat lomba (maaf!, saya tidak perlu menyebutkan insidennya). Tiba-tiba
ketika teman itu bercerita tentang dia (3010), seorang cowok yang sama sekali
tidak kukenal, bukan teman sekolahku, sepertinya merespon nama dia dengan
sangat berbeda, seperti sesorang yang begitu kenal dan dekat , “ iyo, dia…dia
manai dia?” (kata dia merupakan samaran dari nama asli cewek yang kumaksud
(3010)), itu katanya sambil kelihatan panik melihat sekelilingnya. Respon yang
sangat aneh, dan membuat saya tersinggung. Bagaimana mungkin, ada seorang teman
yang reponnya sampai segitunya seperti tanda begitu peduli dan suka???. Entah apa yang saya rasakan? Saya tersinggung,
cemburu atau apa?. Fajri dan Rangga yang waktu itu terus bersamaku, ternyata
merespon sama dengann yang kupikirkan “eh…nulihatji itu tadi cowok yang di
depan tenda? Apa nabilang waktu disebutki namanya ………… kayak
mencurigakan sekali…tapi bukan kulihat teman ato adek kelasta itu,” kata Fajri
kepadaku.. benar! ternyata ada yang merasakan hal yang sama dengan apa yang
kupikirkan. Tapi saya mencoba membuang jauh-jauh perasaan itu karena saya sudah
yakin dan percaya pada 3010, mungkin cowok itu aja…yang asal. Mencoba melupakan
itu, walaupun respon cowok itu masih terbayang hingga tulisan ini mengalir.
Saya mencoba mencapai tujuan saya ke kegiatan Islamic Camp itu.
Tapi malam itu, bisa jadi merupakan malam terburuk
sekaligus berharga dalam hidup saya, saya kembali belajar bahwa ini tidak hanya
sekedar kata-kata tetapi jauh lebih luas dari itu dan tidak sesederhana yang
selalu terpikirkan. Mungkin bisa saja selama ini, saya memberi masukan dan
saran kepada seseorang tentang perasaan, tapi sungguh saya tidak pernah paham
dengan kejadian sebenarnya karena sungguh baru malam itu saya belajar. “ oh
ternyata begini rasanya,” gumamku. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah sekitar
pukul 11.00 WITA, kulihat kecepatan motorku pada speedometer hanya berkisar 20-25 km/jam, sangat lambat untuk
perjalanan yang lumayan jauh, ektrimnya perjalanan waktu itu, tidak kurasakan
lagi. Gelap, sepi, dan batas-batas perkampungan yang sering dianggap keramat
tak lagi kupedulikan. Benar-benar konyol, kok bisa-bisanya saya berfikir “
kalau saya dipanggil Tuhan malam ini, biarkan saja,” saya sampai melupakan
cita-cita untuk mengenakan almamater kuning dengan panji merah. Tapi ketika
saya menulis tulisan ini, saya berfikir, “Tuhan,…tolong jangan panggil saya,
sebelum cita-cita saya terwujud, sebelum orang-orang yang pernah memberi saya
cinta dan benci merasakan hasil kerja saya, sebelum masyarakat kampung saya
bangga karena saya, sebelum Indonesia beruntung karena ada saya,” terlalu
kePedean bukan?, haha…setiap orang berhak berpendapat, berserikat dan
bercita-cita dan itu hak asasi.
Seharusnya saya berterima kasih (BUKAN kecewa), malam
itu saya belajar sakit hati karena cinta untuk pertama kalinya….dan malam itu
saya belajar dan yakin bahwa teori tanpa praktik bagaikan sayur tanpa garam, kelihatan
enak tapi kalau tidak ada garamnnya, rasanya kan tidak lucu? Haha. Terima kasih
untuk orang yang memberiku pelajaran malam itu. Kini saya tidak perlu lagi
takut untuk menulis tentang cinta dan sakit hati karena kan saya sudah
merasakannya. Memang rasanya sakit, dicuekin itu sakit, direspon tidak baik itu
sakit, atau apapun yang menurut kalian sakit. Tapi yakinlah sakit-sakit itu
kelak akan bermanfaat bagi orang banyak.
Tergantung kita sih!, darimana kita mau memandangnnya, kalau kita mau
berspektif positif, tentu semuanya akan baik-baik saja apapun yang terjadi.
Tidak perlu ada kata ‘sorry’ kata orang bugis, atau ‘maaf’ kata orang
Indonesia, atau ‘addampeng’ kata orang Inggris dari orang yang membuat kita
sakit itu. Karena seharusnya kita berterima kasih, dia telah mengajarkan kita
satu hal lagi. Seperti peyakit cacar, seseorang yang sudah terkena penyakit
cacar. Sebagian besar tidak akan pernah terjangkit lagi karena sudah ada
proteksi dari dalam tubuh yang mengenali jenis penyakit itu sehingga ketika
muncul gejalanya, segera ditanggulangi, sama halnya dengan orang yang belajar
naik motor, sulit baginya untuk ahli banting stir kiri-kanan kalau tidak pernah
terjatuh, Valentino Rossi kan pernah terjatuh saat balapan di sirkuit, betul
kan?. Begitupun dengan perasaan, kalau kita hanya merasakan manisnya,
lama-kelamaan juga bosan. Sekali-kali rasakan yang pahit, asin, etc dengan
begitu kita tentu belajar tentang ilmu
yang sangat bermanfaat. Pare contohnya, siapa yang menyangka buah/sayur keriput nan pahit itu banyak bermanfaat bagi
kesehatan terutama masalah pencegahan dan penanganan kanker. Tidak selamanya
manis itu bermanfaat, toh! manis bisa membuat diabetes….dan tidak selamanya
pahit itu tidak baik. Intinya pandang segala sesuatu dengan positif . INSYAALLAH!!
Hasilnya positif. Jangan pernah takut untuk sakit, sakit hati…dan sakit-sakit
yang lain karena dari situ ada manfaat dan pelajaran. Saya buktinya!, jika saya
tidak sakit hati malam itu (9 oktober 2013) maka tulisan ini pasti tidak akan
pernah kalian baca. Berterima kasihlah kepada orang yang membuat kita sakit,
karena itu tanda kasih sayang…jadi kalau kita sukses jangan pernah melupakan
orang/sesuatu yang pernah membuat kita sakit. Tuhan kan kadang membuat kita
sakit karena DIA peduli dan sayang kepada kita, tapi pasti DIA juga bakal
menyembuhkan kita. PercayalahJ!*(rn1130)
Pangkep, 10 Februari 2013