BISSU DI TANAH BUDAYA PANGKEP
Di Sulawesi Selatan terdapat empat suku bangsa yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja yang masing-masing memiliki kekhasan budaya. Semua itu perlu dipertahankan melihat arus global yang begitu deras sehingga menghanyutkan budaya-budaya yang seharusnya kita pertahankan, salah satu yang membuat Indonesia dikenal oleh Dunia karena kekayaan budaya yang dimilikinya, sehingga sudah sepatutnya semua rakyat Indonesia melindungi dan mempertahankan kebudayaan yang dimiliki.
Bissu yang ada di Segeri Kabupaten Pangkep merupakan salah satu kebudayaan yang patut dipertahankan karena melihat Bissu merupakan salah satu bagian dari Kisah I LA GALIGO yang masih di pertahankan hingga saat ini, bahkan pementasan teater I LA GALIGO yang memuat Bissu didalamnya mendapat respon yang sangat positif dari Budayawan Internasional dan kini telah diperankan di berbagai negara seperti Amerika, Australia, dan negara-negara lainnya dibawah naungan sutradara Robert Wilson.
Dari uraian diatas membuktikan bahwa terkadang masyarakat luar negeri lebih mengapresiasi dan menghargai budaya kita dibanding kita sendiri pemilik kebudayaan itu, lalu apakah hal tersebut tidak membuat kita takut kalau kebudayaan yang selama ini dipertahankan oleh para nenek moyang kita itu direbut oleh negara lain, melihat kenyataan sekarang banyak sekali kebudayaan kita yang berusaha di klaim oleh negara lain seperti Batik dan Reog Ponorogo yang sempat mengalami konflik antara Indonesia dengan negara yang mengklaimnya.
Kami mengangkat judul ini dengan maksud agar masyarakat lebih mengenal tentang kebudayaan Bissu yang ada di Segeri Kabupaten pangkep sehingga masyarakat akan lebih menghargainya. Perlu ditanamkan dalam hati bahwa kebudayaan yang ada di Indonesia itu milik kita bersama sehingga semua harus mampu mengapresiasi dan menghargai setiap kebudayaan yang ada di Indonesia.
Menjelang musim turun sawah di Sul-Sel ini, kami merasa perlu membahas Bissu yang merupakan bagian dari upacara turun sawah atau Mappalili tersebut. Kami merangkum sejumlah informasi mengenai Bissu melalui metode pustaka baik melalui buku maupun internet sehingga betul-betul akurat.
Menurut sejarah, bissu berasal dari Bone, dan mulai ada di segeri pangkep sekitar tahun 18
Bissu berasal dari kata bessi yang berarti bersih atau suci, bissu dikenal juga dengan nama calabai atau banci namun mereka bukan calabai biasa, mereka adalah calabai sakti yang di percaya dapat terhubung dan berkomunikasi dengan para dewa.
Sebelum kerajaan Islam ada di Sulawesi, mereka telah lebih dulu mengenal paham “Puang Seuwae” yang berarti Tuhan Yang Maha Esa. Bissu ini dipimpin oleh seorang pemimpin yaitu Puang Matowa dan wakilnya yaitu puang Lolo, komunitas Bissu di pangkep tinggal di Arajangnge di Bontomatene, Kecamatan Segeri. Saat ini di pimpin oleh Puang Matowa Upe menggantikan Puang Matoa Saidi yang meninggal pada hari selasa, 28 Juni 2011 tepat pukul 15:35 WITA di R.S Wahidin Sudirohusodo.
Salah satu hal yang membuat Bissu menurut masyarakat perlu dipertahankan adalah dengan adanya upacara Mappalili atau turun sawah, kegiatan ini secara turun temurun dilakukan setiap tahun untuk menandai dimulainya musim tanam padi, biasanya di lakukan pada bulan september atau november. Menurut masyarakat sekitar, upacara ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh berkah dari Sang dewata agar hasil panen memuaskan, puncak dari upacara tersebut adalah Maggiri yaitu mengiris dan menusuk anggota badan dengan keris pusaka dimulai oleh pimpinan bissu yaitu puang matoa bissu dan selanjutnya diikuti oleh anggota yang lain, nah !! disinilah kesaktian mereka, mereka begitu kebal dengan senjata tajam, mereka tidak teriris sama sekali. Sebelum memulai ritual tersebut biasanya mereka membacakan mantera-mantera kuno dengan menggunakan bahasa To rilangi .
Komunitas Bissu di Segeri tinggal di Rumah Arajangnge dan menjaga alat-alat pusaka arajang, tidak semua orang dapat menjadi bissu, ada sejumlah persyaratan yang harus di penuhi. Karena acara ini sangat sakral maka semua aturan bissu harus benar-benar dipenuhi karena jika tidak, maka akan terjadi hal fatal seperti termakan keris saat prosesi Maggiri.
Bissu juga merupakan salah satu bagian dari Kisah I LA GALIGO yang masih dipertahankan hingga kini, bahkan di pentaskan melalui teater di berbagai negara disutradarai oleh Robert Wilson, Puang matowa Bissu (Alm) Saidi merupakan pembaca naskah atau sureq I LA GALIGO yang ditulis dalam bahasa bugis kuno saat pementasan teater I LA GALIGO. Bahkan beliau telah menghafal sembilan naskah I LA GALIGO. Namun sejak meninggal pada 28 Juni 2011 lalu kini nasib bissu dan pementasan teater I LA GALIGO belum jelas. Sekarang Bissu dipimpin oleh Puang Matoa Upe yang dulu merupakan wakil dari puang matowa Saidi.
Jadi sebagai masyarakat indonesia, kita harus mampu menghargai warisan budaya yang ada di Indonesia termasuk Bissu yang merupakan bagian dari kisah I LA GALIGO yang masih dipertahankan hingga saat ini, Bissu merupakan bagian dari budaya lokal masyarakat yang kini telah mendapat respon positif dari budayawan Internasional dan telah menjadi salah satu kekayaan wisata budaya Indonesia.
Perkembangan zaman yang begitu pesat menyebabkan beberapa perubahan diberbagai sektor, diantaranya di sektor kebudayaan. Budaya-budaya lokal masyarakat mulai dilupakan, ditinggalkan dan kurang diperhatikan, masyarakat cenderung lebih suka terhadap budaya-budaya modern yang dibawah seiring arus globalisasi dan modernisasi.
Salah satu budaya yang kini dikenal hingga ke mancanegara adalah tradisi Ma’bissu yang ada di Segeri kabupaten Pangkep, bissu merupakan budaya lokal masyarakat yang masih dipertahankan hingga saat ini dan juga merupakan bagian dari Kisah I LA GALIGO. Bissu berasal dari kata bessi yang berarti bersih atau suci, bissu merupakan golongan manusia tanpa gender yang jelas karena bissu merupakan golongan manusia yang bukan wanita dan bukan pria, mereka lebih dikenal sebagai calabai, calalai, kawe-kawe, atau banci. Namun mereka bukan banci biasa, mereka memiliki kesaktian yakni kebal akan senjata tajam, itu dapat dibuktikan pada saat upacara Mappalili atau turun sawah pada saat prosesi maggiri’. Bissu diperkirakan telah ada di Pangkep pada abad ke 18, namun beberapa tahun kemudian terjadi pemberontakan oleh kaum Muslim modern yang menganggap bahwa kepercayaan yang dianut oleh para bissu merupakan kepercayaan yang menyimpang dari ajaran agama dan dianggap musyrik, pembubaran kelompok bissu dilakukan bersamaan dengan gerakan G30S/PKI, pada saat itu pemberontakan terhadap bissu dipimpin oleh kahar Muzakkar dengan nama operasi toba’ atau operasi taubat, semua bissu dipaksa kembali ke gender masing-masing dan memeluk agama tertentu yang benar. Tidak ada perlawanan para kaum bissu pada saat itu karena mayoritas masyarakat mendukung pembubaran bissu tersebut karena memang dianggap menyimapang dari ajaran agama.
Pada tahun 2003 bissu kembali didirikan dan di Segeri kabupaten Pangkep ada 22 orang bissu , sampai sekarang masih banyak masyarakat yang tidak senang dengan adanya tradisi bissu karena dianggap musyrik, namun dengan adanya undang-undang anti diskriminasi dan perlindungan dari KOMNAS HAM, maka keberadaan bissu masih dipertahankan. Selain itu adanya upacara mappalili’ juga merupakan salah satu faktor yang membuat kebudayaan ini harus tetap dipertahankan.
Created By: RANIANSYAH
Pangkep, 18 November 2011