Salahkah Profesi
Pengacara???
oleh : Raniansyah
oleh : Raniansyah
Hari ini aku sejenak merenung dan kembali berpikir tentang cita-citaku menjadi seorang pakar hukum, aku sebenarnya tak begitu bercita-cita untuk menjadi pengacara, hakim, atau jaksa karena itu pekerjaan berat , bagaimanapun aku tahu…hanya keputusan Tuhan yang bisa benar-benat adil, bukan keputusan hakim, jaksa ataupun pembelaan sang pengacara terhormat. Entah mengapa pikiran seperti ini kembali menghantui pikiranku….jadi apa aku nanti? Bisakah aku berguna untuk orang lain? Dapatkah aku membuktikan bahwa aku bisa menggapai yang kuinginkan? Atau malahan aku jadi benalu yang tidak tahu malu?? Ahh,…aku takut mengecewakan orang-orang sekitar yang selalu mendukungku, aku takut menjadi orang yang hanya mengejar materi tanpa peduli perasaan dan nasib orang lain….aku khawatir menjadi orang yang membawa petaka bagi orang lain….aku tak ingin jadi orang sombong diatas kursi tahta yang ingin kuemban nanti, aku tak mau kelak merendahkan dan meremehkan orang lain karena apa yang kumiliki. Tak ingin kubayangkan menjadi mereka, deretan kalangan atas yang selalu kukritik dan kucela saat ini. Aku….aku….tak dapat berucap lagi..seribu pertanyaan memenuhi kepalaku.
***
Akhir-akhir ini banyak yang
menanyaiku tentang pendidikan yang ingin kutempuh setelah lulus SMA, yah..! jawabku
simple aja ‘fakultas hukum’. Mendengar
jawabanku, sepertinya kebanyakan orang bahkan mungkin semua berpikir kalau aku
ingin jadi pengacara, “apakah hanya bisa jadi pengacara kalau di jurusan
hukum?,” tanyaku dalam hati, kan banyak juga profesi lain, misalnya dosen
hukum, notaris, legislatif, dan PNS. Lantas kenapa jurusan hukum mesti
dikaitkan dengan pengacara? Ada apa sebenarnya dengan pengacara? Sebegitu
dekatkah pengacara dengan hukum? Atau malahan pengacara yang sering
‘mengkhianati’ hukum?. Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku,
di jaman edan sekarang ini, pengacara memang eksis karena selalu muncul di
layar televisi menjadi juru bicara klien mereka yang terjerat kasus
hukum, mantan aparat hukum besar sekelas Susno Duadji pun memiliki pengacara,
tapi yang patut diherankan adalah adakah pengacara untuk si pencuri singkong?
Adakah pengacara untuk si pencuri sandal jepit? Tak ada!, karena mereka tak
berduit karena mereka tak mampu membayar pengacara.
***
Aku sama sekali tak berniat jadi
pengacara, karena sebenarnya aku sempat menaruh rasa benci terhadap profesi
ini. Mereka itu orang intelek, seorang akademisi….namun mengapa prinsip yang
dulunya “maju terus, pantang mundur..membela yang benar” mereka ubah jadi “maju
terus, pantang mundur membela yang bayar,”. Hmm..fenomena inilah mungkin yang
membuat orang banyak tidak suka dengan profesi pengacara. Saya terperanjak kala
mendengar ucapan seorang teman beberapa waktu lalu “kudukungko di jurusan
hukum, asalkan jangan jadi pengacara….biar orang salah nabela tong,” itu
katanya. Sepertinya banyak orang telah berpemikiran demikian, pengacara telah
dijudge sebagai profesi yang salah. Kebanyakan yang terlihat di layar
mungkin menjadi sampel yang buruk bagi publik sehingga mengjudge
‘pengacara’ sebagai profesi yang salah, padahal tidak semua pengacara demikian,
tidak semua pengacara materialistis. Seharusnya pengacara memang tidak
dijadikan sebuah profesi tetap, tetapi pengacara seharusnya dijadikan pekerjaan
mulia sukarela dengan memberikan bantuan pembelaan hukum kepada orang benar dan
pantas dibela, bukan justru dijadikan Profesi yang walaupun salah tetap dibela,
tapi publik juga harus sadar bahwa tidak semua pengacara demikian, prinsip
sebenarnya adalah pengacara mencoba melakukan pembelaan kepada seseorang yang
terjerat kasus hukum dengan melihat sejumlah peraturan semacam PP, UU, Tap MPR,
atau aturan lain yang bisa meringankan hukuman si terdakwa/tersangka, namun
jika sudah tidak ada aturan yang bisa membantu si terdakwa/tersangka …maka yang
salah tetap salah dan tidak bisa dibenarkan. Itulah sebenarnya mekanisme kerja
seorang pengacara, bukan yang sering dituduhkan publik selama ini. Mengenai
uang itu nomor dua, karena pengacara saat ini adalah sebuah profesi, sehingga
pastilah kalau mau pakai pengacara..Yah! harus punya uang, tetapi harus
diyakini bahwa pennegakan supremasi hukum itu nomor satu. Tak ada
pengacara yang bisa membenarkan sesuatu yang salah, kalaupun pengacara
materialistis memang ada, publik seharusnya membuka pikiran bahwa semua tidak
demikian, dan sampel tidak dapat dijadikan acuan untuk mengjudge
buruk/salah sebuah profesi.
***
Hukum di Indonesia sekarang
memang sangat rentan kolusi dan nepotisme, sangat akrab dengan segala bentuk
ketidakadilan, namun bukan berarti sebuah profesi harus disalahkan. Due
process of law (Penegakan Hukum sesuai prosesnya dengan Adil) dan Equality
before the law (persamaan di mata hukum), dua prinsip yang
seharusnya ditegakkan di Negara hukum, justru keduanya yang paling sering
dikhianati. “menegakkan hukum tanpa pandang bulu,” itu sebuah kalimat bermajas tak berarti,
terlalu banyak penafsirannya. Segala sesuatu sekarang harus dispesifikkan
agar tidak multitafsir, langsung saja
bilang “menegakkan hukum tanpa pandang duit,” karena sekarang orang
lebih melihat duit dan dompetnya yang tebal, dibanding capek-capek
memperhatikan bulunya…haha. Lagipula yang tersangka kan manusia, manusia itu
berambut…BUKAN berbulu..hahaha :D. Pun
aku masuk jurusan hukum bukan berniat jadi pengacara walau aku tahu profesi itu
tidak salah, tapi aku ingin bermanfaat saja untuk orang banyak, jadi anggota
DPR misalnya…sehingga aku bisa memperjuangkan hak dan aspirasi rakyat, sehingga
aku bisa membuat kebijakan yang pro rakyat. Itu saja,.. bukankah membela orang
banyak lebih mulia daripada membela satu orang saja, iya kan? J
Pangkajene, 16 Mei 2013